2.10.2009

Situs Klinterejo (4) - end -

Warga Dusun Klinterejo, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (20/1), melakukan penggalian sekaligus pemindahan peninggalan Majapahit yang ada di atas tanah mereka. Hal itu dilakukan karena tidak ada upaya penyelamatan serius yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim sekalipun temuan-temuan sejarah tersebut telah dilaporkan sejak tiga tahun lalu.

Sekitar 20 warga desa sejak Selasa pagi menyiapkan sebuah mobil bak terbuka di lokasi yang berdekatan dengan Situs Klinterejo. Situs itu mengandung banyak peninggalan Kerajaan Mapajahit seperti sandaran arca, yoni, lumpang batu, jaladwara, balok batu, dan umpak batu. Mereka mengangkat sejumlah umpak batu ke mobil dan memindahkan umpak batu itu ke Situs Klinterejo yang dikenal pula sebagai petilasan Bhre Kahuripan atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.

Selain umpak-umpak batu tersebut, warga juga membuka sejumlah sumur kuno yang ada di lokasi itu. Ada sekitar 10 sumur dengan diameter masing-masing 80 sentimeter. Selain itu, terdapat pula struktur batu bata yang kemungkinan bangunan tembok pada sisi barat tanah warga.

Kekecewaan warga

Kepala Dusun Klinterejo M Shofii (33) mengatakan, apa yang dilakukan warga adalah bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang mengabaikan peninggalan bersejarah itu. Ia menyatakan, jika memang pemerintah, dalam hal ini BP3 Jatim, menginginkan agar struktur dan peninggalan purbakala itu tetap lestari, harus ada kompensasi yang layak bagi warga.

”Soalnya kami juga menyewa tanah ini. Namun, yang jelas kami lakukan ini untuk menyelamatkan benda-benda cagar budaya peninggalan zaman dulu,” kata Shofii soal kondisi lahan yang saat ini digunakan untuk pembuatan batu bata tersebut.

Zainal Abidin, Sekretaris Desa Klinterejo, membenarkan bahwa tanah yang sekarang diusahakan warga dan berdekatan dengan Situs Klinterejo itu adalah tanah kas desa (TKD). ”Luasnya 2,5 hektar dan warga menyewa dengan harga Rp 25 juta setiap tiga tahun. Ini sudah masuk tahun keempat,” katanya.

Menurut Zainal dan Shofii, sejak lahan tersebut dipakai untuk pembuatan batu bata, warga sudah melaporkan soal temuan-temuan kuno yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit itu. Namun, karena ketiadaan respons pemerintah, dari sekitar 40 umpak batu besar yang pada tiga tahun lalu ditemukan warga kini hanya tinggal tersisa tidak lebih dari 15 buah umpak batu.

Demikian pula dengan kondisi sumur purbakala yang sekalipun masih utuh tetapi bagian atasnya sudah terkepras. Kerusakan paling parah terjadi pada struktur batu bata yang hancur akibat penggalian tanah guna bahan baku pembuatan batu bata.

Tiga anggota staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim yang datang ke lokasi begitu mengetahui aksi warga itu memastikan temuan tersebut adalah peninggalan zaman Majapahit.

”Kemungkinan ini adalah pendapa mengingat ada temuan umpak dan bekas genteng yang hancur,” kata Ning Suryati, arkeolog yang sehari-hari bertugas di bagian pemugaran BP3 Jatim.

Pada tahun 2002, di lokasi tersebut pernah dilakukan ekskavasi dengan menggunakan metode spit berupa penggalian pada titik-titik tertentu berjumlah sepuluh kotak. Namun, upaya ekskavasi awal tersebut tidak dilanjutkan. (INK/Kompas)


Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko, Kabupaten Mojokerto Desa Itu Kini Ada Kompleks Mirip Perumahan Zaman Majapahit Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang berdampak pada kerusakan situs bisa jadi masalah baru bagi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur (Jatim) dan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Karena lokasi pembangunannya berada di area yang semestinya mendapat perlindungan dan dilestarikan. Sebaliknya bagi warga Desa Klinterejo Kecamatan Sooko, masalah tersebut ibarat berkah terpendam yang tiba-tiba muncul. (MOCH. CHARIRIS, Mojokerto)

DI desa berpenduduk 3 ribu jiwa itu sejak lama sebenarnya tersimpan kekayaan cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun tidak adanya pelestarian dan perlindungan yang serius, berbagai situs di dalamnya seakan tak berharga. Bahkan potensi kerusakan akibat ulah tangan jahil kian mengerikan. Sebagian bangunan tak lagi insitu (alami di tempat aslinya) seperti puluhan batu umpak, lesung dan lumpang yang di temukan di area pembuatan batu-bata. Sebagian lainnya semisal bangunan menyerupai tembok melintang arah selatan dan utara sepanjang 500 meter, justru lapisan batu-bata-nya banyak yang hilang akibat aktivitas produksi batu-bata dan aksi pencurian. Termasuk jual beli batu-bata kuno. Beruntung, masih ada bangunan kuno berupa tiga sumur yang masih bisa diselamatkan secara utuh. Meski ada sedikit lapisan bibir sumur yang hilang, namun sumur kuno yang diberi nama warga sumur windu secara kasatmata masih utuh dan nyata. Maka tidak ada salahnya bila beberapa warga menyebut di lokasi produksi batu-bata seluas 2,5 hektare itu bekas perumahan penduduk. Bahkan ada yang menyebut bekas kompleks perumahan salah satu pejabat tinggi Kerajaan Majapahit abad ke-13. ''Memang kalau melihat temuan-temuan yang ada mungkin bekas tempat perumahan penduduk. Atau mungkin Kerajaan Majapahit," ujar Hasan Ibrahim Rizal, salah satu warga yang biasa berada di lokasi tersebut. Tebakan yang dilontarkan sedikit banyak masuk akal. Disamping beberapa situs yang ditemukan sebelumnya, di sisi lain warga juga menemukan sebuah bangunan kuno di area lahan yang sama. Tepatnya berada di selatan tiga sumur windu. Walaupun menyisakan tumpukan batu-bata kuno yang tidak jelas bentuknya, akan tetapi warga menduga bangunan yang sudah rusak itu menyerupai puthuk (gapura masuk). ''Dulunya tidak seperti (rusak berat, Red) ada dua bangunan menyerupai gapura. Satu berada di sebelah timur dan satunya berada di barat," terang Hasan Ibrahim, salah satu warga yang menemukan bangunan tersebut. Sayang, penjelasan laki-laki berusia 60 tahun ini tak bisa diwujudkan lagi. Sebab di area lahan puthuk seluas 6x5 meter yang ditemukan pada tahun 1995 lalu, hanya menyisakan gundukan tanah. Di atasnya ada beberapa lapisan batu-bata kuno. ''Memang karena banyak batu-bata-nya diambili orang struktur bangunan gapuranya tidak terlihat lagi," tambah bapak empat anak ini. Pengakuan kerusakan cagar budaya itu juga diakui Zainal Abidin, sekdes setempat. Terhitung sejak pertama kali ditemukan tidak ada perhatian khusus dari BPPP. Maka, tidak heran jika banyak warga yang menghendaki batu-bata dari bangunan puthuk itu. ''Selama ini yang saya dengar ada yang mengambil untuk bangunan rumah. Atau sekadar tambahan pembuatan pagar," terangnya. Kendati demikian, Abidin menuturkan peninggalan cagar budaya situs puthuk tersebut masih tersisa. Diantaranya, separuh lapisan batu-bata gapura sebelah barat dan timur masih terkubur dalam tanah sedalam 2,5 meter. ''Kalau tidak salah dua gapura itu dulu setinggi enam meter. Dan sekarang masih menyisakan bangunan yang belum tergali sedalam 2,5 meter," paparnya. Walaupun sedikit berbeda dengan dugaan warga, Ningsuriah, staf pemugaran BPPP mengatakan dari banyak temuan benda-benda kuno di area pembuatan batu-bata seperti tembok, batu-batuan, genting, sumur dan puthuk, di area pembutan batu-batu tersebut menyerupai perumahan penduduk. Hanya soal puthuk, Ningsuriah memprediksi, bangunan kuno dulunya difungsikan sebagai tempat pembakaran jenazah. ''Karena zaman Majapahit dulu tidak ada makam. Justru yang ada adalah tempat pembakaran jenazah," katanya. Akan tetapi dia mengatakan keterangan yang didasari dengan penelitian tersebut, belum bisa dibuktikan secara utuh. Harus dilengkapi penelitian lanjutan. Sebab selain rusak berat, bangunan yang tersisa banyak yang tidak insitu lagi. ''Makanya dari bukti-bukti yang ada saya hanya bisa menduga kalau di sini (Klinterejo, Red) ada bekas perumahan penduduk. Dan itu pasti ada hubungannya dengan Majapahit. Apalgi dekat dengan lokasi petilasan Tribuana Tungga Dewi (Kahuripan, Red)," imbuh perempuan berkacamata ini. (yr/Radar Mojokerto)

Warga Selamatkan Situs Juga Temukan Lagi Beberapa Situs Baru MOJOKERTO - Setelah sebelumnya melakukan evakuasi beberapa situs yang tak terawat, puluhan warga Dusun/Desa Klinterejo Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto kembali melakukan upaya penyelamatan. Salah satunya dengan meng-ekskavasi (penggalian situs) versi warga pada Minggu (25/1) kemarin. Diantaranya terhadap situs berbentuk tembok sepanjang 500 meter, bangunan menyerupai gapura dan batu umpak yang tersisa. Bahkan warga kembali menemukan titik-titik situs baru di lahan milik salah satu perangkat desa seluas 2,5 hektera yang disewakan kepada beberapa pembuat batu bata. Seperti lapisan batu bata dan dinding bangunan kuno yang masih insitu (berada di tempat aslinya). Upaya ekskavasi yang disertai pembersihan lokasi sekitar situs tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengetahui kontruksi yang sebenarnya. ''Kami tidak ingin kerusakan benda cagar budaya ini semakin meluas," ujar Deni salah satu warga. Berbeda dengan metode penggalian yang dilakukan para arkeolog, ekskavasi warga dilakukan dengan menggunakan peralatan seadanya, seperti cangkul, linggis dan gancu. Meski cukup sulit, namun dengan peralatan tersebut warga mampu menemukan kontruksi baru yang terpendam. ''Bukan maksud kami ingin merusak, tapi karena keterbatasan pengetahuan dan peralatan. Makanya kita gunakan alat seadanya," lanjutnya. Sedangkan temuan situs baru oleh warga lokasinya tidak jauh dari penemuan sebelumnya. Yakni hanya berjarak sekitar tiga meter berbentuk lapisan batu bata kuno. Diperkirakan kental kaitannya dengan situs yang lain. ''Bentuk batanya hampir sama, bahkan ada yang bermotif bulat seperti lingkaran pada bagian atas," kata Supar. Kendati tidak dilakukan penggalian secara utuh akan tetapi di area situs yang tak lagi insitu tersebut kini dipasang warga beberapa tulisan pesan moral penyelamatan. Salah satunya ''Selamatkanlah Situs Peninggalan Majapahit." Sekretaris Desa (Sekdes) Klinterejo Zainal Abidin mengungkapkan, upaya eskavasi dan pembersihan lahan situs tersebut merupakan bagian kepedulian warga. Sebab, dengan tingkat kerusakan yang tinggi akibat aktivitas produksi batu bata dan tangan jahil, kondisi benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit itu kian memprihatinkan. ''Memang sudah banyak bagian-bagian yang rusak dan hilang. Tapi dengan sisa yang ada kami tidak ingin kerusakan dan pencurian merajalela," jelasnya. Sementara itu dari hasil penelusuran warga selama ini, di area situs yang berdekatan dengan petilasan Tri Buana Tunggal Dewi atau Kahuripan saat ini terdapat puluhan titik. Namun karena minimnya perhatian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto benda-benda bernilai tinggi itu terkesan terabaikan. ''Karena itu kami berharap BPPP dan pemkab mulai saat ini serius melestarikan dan merawat. Apalagi warga disini sudah mengawali upaya penyelamatan bersama," imbuhnya. (ris/nk)

Situs Klinterejo Bakal Diekskavasi

BPPP Masih Bingung soal Dana

MOJOKERTO - Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Provinsi Jawa Timur bakal mengekskavasi (menggali secara arkeologi) situs di Dusun/Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Untuk merealisasikan hal tersebut saat ini BPPP sudah melakukan koordinasi dengan Balai Arkelog Jogjakarta dan Pemkab Mojokerto. Termasuk menyusun anggaran yang dibutuhkan.

Dikatakan Kepala BPPP, I Made Kusumajaya kepada Radar Mojokerto, rencana ekskavasi tersebut berdasarkan atas penelitian sementara pihak BPPP di beberapa situs yanga ada di Dusun/Desa Klinterejo. Bahwa benda cagar budaya yang sebelumnya mengalami kerusakan dan tak terawat, kental kaitannya dengan peninggalan Kerajaan Majapahit yang ada di sekitar lokasi pembangunan Pusat Infomasi Majapahit (PIM). ''Tapi untuk waktunya kita belum bisa mengatakan kapan akan dilakukan ekskavasi," ujarnya.

Memang untuk menampakkan beberapa titik situs di Dusun/Desa Klinterejo tersebut harus dilakukan pengkajian dan penelitian lebih dalam. Diantaranya melakukan rescue (penyelamatan, Red) terkait struktur bangunan kuno, kondisi situs, luas lahan, gambar situs, tingkat kerusakan yang ada dan beberapa catatan penting yang dibutuhkan dalam proses ekskavasi.

''Dari hasil kajian kami dua kali terakhir kemarin, laporannya sudah disampaikan kepada balai arkeolog Jogjakarta untuk dipelajari," terangnya.

Belum pastinya waktu ekskavasi, lanjut Made, lantaran terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh balai arkeolog dan BPPP. Salah satunya soal besaran anggaran dan waktu penggalian yang dibutuhkan.

Di BPPP sendiri misalnya, dalam tahun ini tidak hanya di Desa Klinterejo, temuan situs baru juga terjadi di beberapa daerah seperti Bondowoso, Situbondo dan Kediri. ''Memang untuk ekskavasi dan pelestarian kita (BPPP dan balai arkeolog, Red) yang bertanggungjawab. Tapi karena terbatasnya anggaran kita harus membagi mana yang didahulukan," terang Made.

Karena itu, agar penggalian untuk menampakkan situs Klinterejo, BPPP saat ini sudah menyusun anggaran sharing yang dibutuhkan untuk perawatan dan ekskavasi untuk diajukan kepada Pemkab Mojokerto. ''Berapa jumlahnya kita baru menyusun. Tapi paling tidak adanya tambahan sharing nanti perawatan dan ekskavasi bisa kita lakukan secara utuh," beber Made.

Sementara itu, Bupati Mojokerto Suwandi mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum mengetahui persis keberadaan situs yang ada di Desa Klinterejo. Namun, melalui Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Parbupora), pemkab sudah menurunkan tim untuk melihat kondisi situs. ''Untuk langkah awal saya sudah menginstruksikan kepada Pak Afandi (Parbupora, Red) agar melihat kondisi situs," terangnya.

Hanya, untuk menjaga pelestarian dan manfaat yang harus petik, Suwandi mengaku sejauh ini pemkab belum mengalokasikan anggaran. Tidak hanya menunggu laporan dari Parbupora melainkan harus melakukan koordinasi lebih dulu dengan BPPP selaku lembaga yang berwenang. ''Soal anggaran memang belum. Tapi akan kita lihat dulu laporannya termasuk berkoordinasi dengan BPPP," imbuhnya.

Sebelumnya, warga sudah melakukan evakuasi beberapa situs yang tak terawat dan upaya penyelamatan. Salah satunya dengan meng-ekskavasi situs berbentuk tembok sepanjang 500 meter, bangunan menyerupai gapura dan batu umpak yang tersisa.

Bahkan warga menemukan titik-titik situs baru di lahan milik salah satu perangkat desa seluas 2,5 hektare yang disewakan kepada beberapa pembuat batu-bata. Seperti lapisan batu-bata dan dinding bangunan kuno yang masih insitu (berada di tempat aslinya). Upaya ekskavasi yang disertai pembersihan lokasi sekitar situs tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengetahui konstruksi yang sebenarnya.

Dari hasil penelusuran warga, selama ini, di area situs yang berdekatan dengan petilasan Tribuana Tungga Dewi atau Kahuripan sebenarnya terdapat puluhan titik. Akan tetapi karena minimnya perhatian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto benda-benda bernilai tinggi itu terkesan terabaikan.

''Karena itu kami berharap BPPP dan pemkab mulai saat ini serius melestarikan dan merawat. Apalagi warga di sini sudah mengawali upaya penyelamatan bersama," kata Sekdes Klinterejo, Zainal Abidin. (ris/yr/Radar Mojokerto)

Warga Minta Cagar Budaya Di-Perda-Kan Temuan Situs Klinterejo Meluas MOJOKERTO - Masyarakat meminta Pemkab Mojokerto menelurkan perda tentang cagar budaya. Hal itu menyusul semakin banyak situs-situs yang ditemukan namun keberadaannya kurang mendapat perhatian dan pelestarian. Alasannya cukup klasiks karena anggaran pelestarian dan penyelamatan cukup minim, bahkan tidak ada sama sekali. Dikatakan Sekdes Klinterejo Kecamatan Sooko, Zainal Abidin, keberadaan situs di Dusun/Desa Klinterejo sebenarnya sudah diketahui sejak tahun 1995 lalu. Tepatnya saat lahan seluas 2,5 hektare milik salah satu perangkat desa disewakan menjadi lokasi produksi batu-bata. ''Sebenarnya kami hanya ingin situs-situs yang ada mendapat perhatian dari pihak yang berwenang. Tapi sejauh ini keinginan kami belum pernah terwujud. Meski sudah beberapa kali melaporkan temuan kepada BPPP," ujarnya kemarin. Permintaan agar pemkab mem-perda-kan kata Abidin, tidak lain hanya agar situs yang ditemukan mendapat perhatian lebih. Terutama soal pelestarian dan penyelamatan. Sebab jika sudah ada perda, maka tidak lain anggaran untuk pelestarian cagar budaya sudah tentu tersedia. ''Selama ini alasannya hanya karena terbentur anggaran, lalu situs-situs itu yang bertanggungjawab siapa? Makanya kalau ada kerusakan warga tidak bisa disalahkan," jelasnya. Hal serupa juga disampaikan Kepala Dusun (Kasun) Klinterejo, Shofii. Menurutnya, temuan beberapa situs di tempatnya memang kondisinya saat ini cukup memprihatinkan. Tidak hanya terjadi kerusakan, melainkan praktik jual beli batu-bata kuno menyebabkan benca cagar budaya yang lokasinya berdekatan dengan petilasan Tri Buana Tungga Dewi banyak yang hilang. Seperti ribuan batu bata situs berbentuk pagar, gapura, batu-batuan berbentuk umpak, lesung dan lumpang banyak yang hilang. ''Paling tidak kalau tidak bisa di-perda-kan kami minta peran BPPP dan Dinas Pariwisata (Dispabupora, Red) melakukan ekskavasi agar situs-situs yang ada bisa dilestarikan bersama," jelasnya. Sementara itu, hingga Jumat (31/1) kemarin proses ekskavasi versi warga untuk menyelamatkan situs terus dilakukan. Beberapa situs yang semula hanya terlihat bagian atasnya, kini sebagian konstruksi mulai tampak jelas. Situs yang disebut warga mirip gapura masuk seluas 6 meter x 6 meter misalnya, walau hanya dilakukan penggalian sedalam 30 sentimeter, tapi sisi dalamnya mampu menunjukkan konstruksi bangunan kuno. Di bagian utara menunjukkan lapisan batu-bata menyerupai tangga, sedangkan bagian selatan konstruksinya berkelok-kelok laiknya teras rumah. Meski banyak bangunan yang rusak dan hilang, rencananya warga akan terus melakukan penggalian hingga diketahui bentuk aslinya. Sementara itu, Sekdakab Budiyono mengungkapkan, sejauh ini pelestarian dan penyelamatan benda cagar budaya memang tidak pernah dianggarkan oleh pemkab. Pasalnya, secara vertikal hal itu merupakan tanggungjawab dari BPPP Jawa Timur dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. ''Tapi soal perda kita sudah merencanakan itu. Mungkin nanti akan kita bahas dalam seminar bersama LSM Gotrah Wilwatikta pada saat peringatan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto. Karena di Gorontalo, Perda cagar budaya sudah ada," jelasnya. (ris/yr/Radar Mojokerto)