Warga Dusun Klinterejo, Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (20/1), melakukan penggalian sekaligus pemindahan peninggalan Majapahit yang ada di atas tanah mereka. Hal itu dilakukan karena tidak ada upaya penyelamatan serius yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim sekalipun temuan-temuan sejarah tersebut telah dilaporkan sejak tiga tahun lalu.
Sekitar 20 warga desa sejak Selasa pagi menyiapkan sebuah mobil bak terbuka di lokasi yang berdekatan dengan Situs Klinterejo. Situs itu mengandung banyak peninggalan Kerajaan Mapajahit seperti sandaran arca, yoni, lumpang batu, jaladwara, balok batu, dan umpak batu. Mereka mengangkat sejumlah umpak batu ke mobil dan memindahkan umpak batu itu ke Situs Klinterejo yang dikenal pula sebagai petilasan Bhre Kahuripan atau Ratu Tribhuana Tunggadewi.
Selain umpak-umpak batu tersebut, warga juga membuka sejumlah sumur kuno yang ada di lokasi itu. Ada sekitar 10 sumur dengan diameter masing-masing 80 sentimeter. Selain itu, terdapat pula struktur batu bata yang kemungkinan bangunan tembok pada sisi barat tanah warga.
Kekecewaan warga
Kepala Dusun Klinterejo M Shofii (33) mengatakan, apa yang dilakukan warga adalah bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang mengabaikan peninggalan bersejarah itu. Ia menyatakan, jika memang pemerintah, dalam hal ini BP3 Jatim, menginginkan agar struktur dan peninggalan purbakala itu tetap lestari, harus ada kompensasi yang layak bagi warga.
”Soalnya kami juga menyewa tanah ini. Namun, yang jelas kami lakukan ini untuk menyelamatkan benda-benda cagar budaya peninggalan zaman dulu,” kata Shofii soal kondisi lahan yang saat ini digunakan untuk pembuatan batu bata tersebut.
Zainal Abidin, Sekretaris Desa Klinterejo, membenarkan bahwa tanah yang sekarang diusahakan warga dan berdekatan dengan Situs Klinterejo itu adalah tanah kas desa (TKD). ”Luasnya 2,5 hektar dan warga menyewa dengan harga Rp 25 juta setiap tiga tahun. Ini sudah masuk tahun keempat,” katanya.
Menurut Zainal dan Shofii, sejak lahan tersebut dipakai untuk pembuatan batu bata, warga sudah melaporkan soal temuan-temuan kuno yang diduga peninggalan Kerajaan Majapahit itu. Namun, karena ketiadaan respons pemerintah, dari sekitar 40 umpak batu besar yang pada tiga tahun lalu ditemukan warga kini hanya tinggal tersisa tidak lebih dari 15 buah umpak batu.
Demikian pula dengan kondisi sumur purbakala yang sekalipun masih utuh tetapi bagian atasnya sudah terkepras. Kerusakan paling parah terjadi pada struktur batu bata yang hancur akibat penggalian tanah guna bahan baku pembuatan batu bata.
Tiga anggota staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim yang datang ke lokasi begitu mengetahui aksi warga itu memastikan temuan tersebut adalah peninggalan zaman Majapahit.
”Kemungkinan ini adalah pendapa mengingat ada temuan umpak dan bekas genteng yang hancur,” kata Ning Suryati, arkeolog yang sehari-hari bertugas di bagian pemugaran BP3 Jatim.
Pada tahun 2002, di lokasi tersebut pernah dilakukan ekskavasi dengan menggunakan metode spit berupa penggalian pada titik-titik tertentu berjumlah sepuluh kotak. Namun, upaya ekskavasi awal tersebut tidak dilanjutkan. (INK/Kompas)
Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko, Kabupaten Mojokerto Desa Itu Kini Ada Kompleks Mirip Perumahan Zaman Majapahit Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang berdampak pada kerusakan situs bisa jadi masalah baru bagi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur (Jatim) dan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Karena lokasi pembangunannya berada di area yang semestinya mendapat perlindungan dan dilestarikan. Sebaliknya bagi warga Desa Klinterejo Kecamatan Sooko, masalah tersebut ibarat berkah terpendam yang tiba-tiba muncul. (MOCH. CHARIRIS, Mojokerto)
DI desa berpenduduk 3 ribu jiwa itu sejak lama sebenarnya tersimpan kekayaan cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun tidak adanya pelestarian dan perlindungan yang serius, berbagai situs di dalamnya seakan tak berharga. Bahkan potensi kerusakan akibat ulah tangan jahil kian mengerikan. Sebagian bangunan tak lagi insitu (alami di tempat aslinya) seperti puluhan batu umpak, lesung dan lumpang yang di temukan di area pembuatan batu-bata. Sebagian lainnya semisal bangunan menyerupai tembok melintang arah selatan dan utara sepanjang 500 meter, justru lapisan batu-bata-nya banyak yang hilang akibat aktivitas produksi batu-bata dan aksi pencurian. Termasuk jual beli batu-bata kuno. Beruntung, masih ada bangunan kuno berupa tiga sumur yang masih bisa diselamatkan secara utuh. Meski ada sedikit lapisan bibir sumur yang hilang, namun sumur kuno yang diberi nama warga sumur windu secara kasatmata masih utuh dan nyata. Maka tidak ada salahnya bila beberapa warga menyebut di lokasi produksi batu-bata seluas 2,5 hektare itu bekas perumahan penduduk. Bahkan ada yang menyebut bekas kompleks perumahan salah satu pejabat tinggi Kerajaan Majapahit abad ke-13. ''Memang kalau melihat temuan-temuan yang ada mungkin bekas tempat perumahan penduduk. Atau mungkin Kerajaan Majapahit," ujar Hasan Ibrahim Rizal, salah satu warga yang biasa berada di lokasi tersebut. Tebakan yang dilontarkan sedikit banyak masuk akal. Disamping beberapa situs yang ditemukan sebelumnya, di sisi lain warga juga menemukan sebuah bangunan kuno di area lahan yang sama. Tepatnya berada di selatan tiga sumur windu. Walaupun menyisakan tumpukan batu-bata kuno yang tidak jelas bentuknya, akan tetapi warga menduga bangunan yang sudah rusak itu menyerupai puthuk (gapura masuk). ''Dulunya tidak seperti (rusak berat, Red) ada dua bangunan menyerupai gapura. Satu berada di sebelah timur dan satunya berada di barat," terang Hasan Ibrahim, salah satu warga yang menemukan bangunan tersebut. Sayang, penjelasan laki-laki berusia 60 tahun ini tak bisa diwujudkan lagi. Sebab di area lahan puthuk seluas 6x5 meter yang ditemukan pada tahun 1995 lalu, hanya menyisakan gundukan tanah. Di atasnya ada beberapa lapisan batu-bata kuno. ''Memang karena banyak batu-bata-nya diambili orang struktur bangunan gapuranya tidak terlihat lagi," tambah bapak empat anak ini. Pengakuan kerusakan cagar budaya itu juga diakui Zainal Abidin, sekdes setempat. Terhitung sejak pertama kali ditemukan tidak ada perhatian khusus dari BPPP. Maka, tidak heran jika banyak warga yang menghendaki batu-bata dari bangunan puthuk itu. ''Selama ini yang saya dengar ada yang mengambil untuk bangunan rumah. Atau sekadar tambahan pembuatan pagar," terangnya. Kendati demikian, Abidin menuturkan peninggalan cagar budaya situs puthuk tersebut masih tersisa. Diantaranya, separuh lapisan batu-bata gapura sebelah barat dan timur masih terkubur dalam tanah sedalam 2,5 meter. ''Kalau tidak salah dua gapura itu dulu setinggi enam meter. Dan sekarang masih menyisakan bangunan yang belum tergali sedalam 2,5 meter," paparnya. Walaupun sedikit berbeda dengan dugaan warga, Ningsuriah, staf pemugaran BPPP mengatakan dari banyak temuan benda-benda kuno di area pembuatan batu-bata seperti tembok, batu-batuan, genting, sumur dan puthuk, di area pembutan batu-batu tersebut menyerupai perumahan penduduk. Hanya soal puthuk, Ningsuriah memprediksi, bangunan kuno dulunya difungsikan sebagai tempat pembakaran jenazah. ''Karena zaman Majapahit dulu tidak ada makam. Justru yang ada adalah tempat pembakaran jenazah," katanya. Akan tetapi dia mengatakan keterangan yang didasari dengan penelitian tersebut, belum bisa dibuktikan secara utuh. Harus dilengkapi penelitian lanjutan. Sebab selain rusak berat, bangunan yang tersisa banyak yang tidak insitu lagi. ''Makanya dari bukti-bukti yang ada saya hanya bisa menduga kalau di sini (Klinterejo, Red) ada bekas perumahan penduduk. Dan itu pasti ada hubungannya dengan Majapahit. Apalgi dekat dengan lokasi petilasan Tribuana Tungga Dewi (Kahuripan, Red)," imbuh perempuan berkacamata ini. (yr/Radar Mojokerto)
Warga Selamatkan Situs Juga Temukan Lagi Beberapa Situs Baru MOJOKERTO - Setelah sebelumnya melakukan evakuasi beberapa situs yang tak terawat, puluhan warga Dusun/Desa Klinterejo Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto kembali melakukan upaya penyelamatan. Salah satunya dengan meng-ekskavasi (penggalian situs) versi warga pada Minggu (25/1) kemarin. Diantaranya terhadap situs berbentuk tembok sepanjang 500 meter, bangunan menyerupai gapura dan batu umpak yang tersisa. Bahkan warga kembali menemukan titik-titik situs baru di lahan milik salah satu perangkat desa seluas 2,5 hektera yang disewakan kepada beberapa pembuat batu bata. Seperti lapisan batu bata dan dinding bangunan kuno yang masih insitu (berada di tempat aslinya). Upaya ekskavasi yang disertai pembersihan lokasi sekitar situs tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengetahui kontruksi yang sebenarnya. ''Kami tidak ingin kerusakan benda cagar budaya ini semakin meluas," ujar Deni salah satu warga. Berbeda dengan metode penggalian yang dilakukan para arkeolog, ekskavasi warga dilakukan dengan menggunakan peralatan seadanya, seperti cangkul, linggis dan gancu. Meski cukup sulit, namun dengan peralatan tersebut warga mampu menemukan kontruksi baru yang terpendam. ''Bukan maksud kami ingin merusak, tapi karena keterbatasan pengetahuan dan peralatan. Makanya kita gunakan alat seadanya," lanjutnya. Sedangkan temuan situs baru oleh warga lokasinya tidak jauh dari penemuan sebelumnya. Yakni hanya berjarak sekitar tiga meter berbentuk lapisan batu bata kuno. Diperkirakan kental kaitannya dengan situs yang lain. ''Bentuk batanya hampir sama, bahkan ada yang bermotif bulat seperti lingkaran pada bagian atas," kata Supar. Kendati tidak dilakukan penggalian secara utuh akan tetapi di area situs yang tak lagi insitu tersebut kini dipasang warga beberapa tulisan pesan moral penyelamatan. Salah satunya ''Selamatkanlah Situs Peninggalan Majapahit." Sekretaris Desa (Sekdes) Klinterejo Zainal Abidin mengungkapkan, upaya eskavasi dan pembersihan lahan situs tersebut merupakan bagian kepedulian warga. Sebab, dengan tingkat kerusakan yang tinggi akibat aktivitas produksi batu bata dan tangan jahil, kondisi benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit itu kian memprihatinkan. ''Memang sudah banyak bagian-bagian yang rusak dan hilang. Tapi dengan sisa yang ada kami tidak ingin kerusakan dan pencurian merajalela," jelasnya. Sementara itu dari hasil penelusuran warga selama ini, di area situs yang berdekatan dengan petilasan Tri Buana Tunggal Dewi atau Kahuripan saat ini terdapat puluhan titik. Namun karena minimnya perhatian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto benda-benda bernilai tinggi itu terkesan terabaikan. ''Karena itu kami berharap BPPP dan pemkab mulai saat ini serius melestarikan dan merawat. Apalagi warga disini sudah mengawali upaya penyelamatan bersama," imbuhnya. (ris/nk)
Situs Klinterejo Bakal Diekskavasi
BPPP Masih Bingung soal Dana
MOJOKERTO - Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Provinsi Jawa Timur bakal mengekskavasi (menggali secara arkeologi) situs di Dusun/Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Untuk merealisasikan hal tersebut saat ini BPPP sudah melakukan koordinasi dengan Balai Arkelog Jogjakarta dan Pemkab Mojokerto. Termasuk menyusun anggaran yang dibutuhkan.
Dikatakan Kepala BPPP, I Made Kusumajaya kepada Radar Mojokerto, rencana ekskavasi tersebut berdasarkan atas penelitian sementara pihak BPPP di beberapa situs yanga ada di Dusun/Desa Klinterejo. Bahwa benda cagar budaya yang sebelumnya mengalami kerusakan dan tak terawat, kental kaitannya dengan peninggalan Kerajaan Majapahit yang ada di sekitar lokasi pembangunan Pusat Infomasi Majapahit (PIM). ''Tapi untuk waktunya kita belum bisa mengatakan kapan akan dilakukan ekskavasi," ujarnya.
Memang untuk menampakkan beberapa titik situs di Dusun/Desa Klinterejo tersebut harus dilakukan pengkajian dan penelitian lebih dalam. Diantaranya melakukan rescue (penyelamatan, Red) terkait struktur bangunan kuno, kondisi situs, luas lahan, gambar situs, tingkat kerusakan yang ada dan beberapa catatan penting yang dibutuhkan dalam proses ekskavasi.
''Dari hasil kajian kami dua kali terakhir kemarin, laporannya sudah disampaikan kepada balai arkeolog Jogjakarta untuk dipelajari," terangnya.
Belum pastinya waktu ekskavasi, lanjut Made, lantaran terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh balai arkeolog dan BPPP. Salah satunya soal besaran anggaran dan waktu penggalian yang dibutuhkan.
Di BPPP sendiri misalnya, dalam tahun ini tidak hanya di Desa Klinterejo, temuan situs baru juga terjadi di beberapa daerah seperti Bondowoso, Situbondo dan Kediri. ''Memang untuk ekskavasi dan pelestarian kita (BPPP dan balai arkeolog, Red) yang bertanggungjawab. Tapi karena terbatasnya anggaran kita harus membagi mana yang didahulukan," terang Made.
Karena itu, agar penggalian untuk menampakkan situs Klinterejo, BPPP saat ini sudah menyusun anggaran sharing yang dibutuhkan untuk perawatan dan ekskavasi untuk diajukan kepada Pemkab Mojokerto. ''Berapa jumlahnya kita baru menyusun. Tapi paling tidak adanya tambahan sharing nanti perawatan dan ekskavasi bisa kita lakukan secara utuh," beber Made.
Sementara itu, Bupati Mojokerto Suwandi mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum mengetahui persis keberadaan situs yang ada di Desa Klinterejo. Namun, melalui Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Parbupora), pemkab sudah menurunkan tim untuk melihat kondisi situs. ''Untuk langkah awal saya sudah menginstruksikan kepada Pak Afandi (Parbupora, Red) agar melihat kondisi situs," terangnya.
Hanya, untuk menjaga pelestarian dan manfaat yang harus petik, Suwandi mengaku sejauh ini pemkab belum mengalokasikan anggaran. Tidak hanya menunggu laporan dari Parbupora melainkan harus melakukan koordinasi lebih dulu dengan BPPP selaku lembaga yang berwenang. ''Soal anggaran memang belum. Tapi akan kita lihat dulu laporannya termasuk berkoordinasi dengan BPPP," imbuhnya.
Sebelumnya, warga sudah melakukan evakuasi beberapa situs yang tak terawat dan upaya penyelamatan. Salah satunya dengan meng-ekskavasi situs berbentuk tembok sepanjang 500 meter, bangunan menyerupai gapura dan batu umpak yang tersisa.
Bahkan warga menemukan titik-titik situs baru di lahan milik salah satu perangkat desa seluas 2,5 hektare yang disewakan kepada beberapa pembuat batu-bata. Seperti lapisan batu-bata dan dinding bangunan kuno yang masih insitu (berada di tempat aslinya). Upaya ekskavasi yang disertai pembersihan lokasi sekitar situs tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan mengetahui konstruksi yang sebenarnya.
Dari hasil penelusuran warga, selama ini, di area situs yang berdekatan dengan petilasan Tribuana Tungga Dewi atau Kahuripan sebenarnya terdapat puluhan titik. Akan tetapi karena minimnya perhatian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto benda-benda bernilai tinggi itu terkesan terabaikan.
''Karena itu kami berharap BPPP dan pemkab mulai saat ini serius melestarikan dan merawat. Apalagi warga di sini sudah mengawali upaya penyelamatan bersama," kata Sekdes Klinterejo, Zainal Abidin. (ris/yr/Radar Mojokerto)
Warga Minta Cagar Budaya Di-Perda-Kan Temuan Situs Klinterejo Meluas MOJOKERTO - Masyarakat meminta Pemkab Mojokerto menelurkan perda tentang cagar budaya. Hal itu menyusul semakin banyak situs-situs yang ditemukan namun keberadaannya kurang mendapat perhatian dan pelestarian. Alasannya cukup klasiks karena anggaran pelestarian dan penyelamatan cukup minim, bahkan tidak ada sama sekali. Dikatakan Sekdes Klinterejo Kecamatan Sooko, Zainal Abidin, keberadaan situs di Dusun/Desa Klinterejo sebenarnya sudah diketahui sejak tahun 1995 lalu. Tepatnya saat lahan seluas 2,5 hektare milik salah satu perangkat desa disewakan menjadi lokasi produksi batu-bata. ''Sebenarnya kami hanya ingin situs-situs yang ada mendapat perhatian dari pihak yang berwenang. Tapi sejauh ini keinginan kami belum pernah terwujud. Meski sudah beberapa kali melaporkan temuan kepada BPPP," ujarnya kemarin. Permintaan agar pemkab mem-perda-kan kata Abidin, tidak lain hanya agar situs yang ditemukan mendapat perhatian lebih. Terutama soal pelestarian dan penyelamatan. Sebab jika sudah ada perda, maka tidak lain anggaran untuk pelestarian cagar budaya sudah tentu tersedia. ''Selama ini alasannya hanya karena terbentur anggaran, lalu situs-situs itu yang bertanggungjawab siapa? Makanya kalau ada kerusakan warga tidak bisa disalahkan," jelasnya. Hal serupa juga disampaikan Kepala Dusun (Kasun) Klinterejo, Shofii. Menurutnya, temuan beberapa situs di tempatnya memang kondisinya saat ini cukup memprihatinkan. Tidak hanya terjadi kerusakan, melainkan praktik jual beli batu-bata kuno menyebabkan benca cagar budaya yang lokasinya berdekatan dengan petilasan Tri Buana Tungga Dewi banyak yang hilang. Seperti ribuan batu bata situs berbentuk pagar, gapura, batu-batuan berbentuk umpak, lesung dan lumpang banyak yang hilang. ''Paling tidak kalau tidak bisa di-perda-kan kami minta peran BPPP dan Dinas Pariwisata (Dispabupora, Red) melakukan ekskavasi agar situs-situs yang ada bisa dilestarikan bersama," jelasnya. Sementara itu, hingga Jumat (31/1) kemarin proses ekskavasi versi warga untuk menyelamatkan situs terus dilakukan. Beberapa situs yang semula hanya terlihat bagian atasnya, kini sebagian konstruksi mulai tampak jelas. Situs yang disebut warga mirip gapura masuk seluas 6 meter x 6 meter misalnya, walau hanya dilakukan penggalian sedalam 30 sentimeter, tapi sisi dalamnya mampu menunjukkan konstruksi bangunan kuno. Di bagian utara menunjukkan lapisan batu-bata menyerupai tangga, sedangkan bagian selatan konstruksinya berkelok-kelok laiknya teras rumah. Meski banyak bangunan yang rusak dan hilang, rencananya warga akan terus melakukan penggalian hingga diketahui bentuk aslinya. Sementara itu, Sekdakab Budiyono mengungkapkan, sejauh ini pelestarian dan penyelamatan benda cagar budaya memang tidak pernah dianggarkan oleh pemkab. Pasalnya, secara vertikal hal itu merupakan tanggungjawab dari BPPP Jawa Timur dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. ''Tapi soal perda kita sudah merencanakan itu. Mungkin nanti akan kita bahas dalam seminar bersama LSM Gotrah Wilwatikta pada saat peringatan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto. Karena di Gorontalo, Perda cagar budaya sudah ada," jelasnya. (ris/yr/Radar Mojokerto)
2.10.2009
Situs Klinterejo (4) - end -
2.04.2009
Situs Klinterejo (3)
Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko
Batu Berharga Itu Beralih Fungsi Jadi Penyeberangan
Pengetahuan warga tentang benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit memang cukup minim. Dari mengenal benda dan cara memperlakukan. Manfaat dan cara melestarikan hingga, cara melindungi dan mengamankan. Tidak heran jika di Dusun/Desa Klinterejo, berbagai bentuk dan model situs banyak yang terbengkalai dan tak terawat.
Lihat saja dua batu dengan posisi berdampingan berada di sebuah aliran sungai kecil itu. Ukuranya memiliki lebar 73 sentimeter, tinggi 73 sentimeter dan ketebalan tidak lebih dari 33 sentimeter.
Meski memiliki nilai sejarah dan bernilai tinggi, namun benda keras tak bergerak itu seperti tak berharga. Bahkan letak batu di sungai kecil yang memisahkan antara Desa Panggih, Kecamatan Trowulan dengan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, sekarang beralih fungsi menjadi tempat pijakan menyeberangan warga sekitar.
''Dua batu itu biasanya digunakan warga menyeberang dari Desa Panggih ke Desa Klinterejo atau sebaliknya," ujar Bambang Hariawan warga setempat, saat ditemui siang kemarin di tempat pembuatan batu-bata.
Tidak hanya dua batu biasa disebut orang batu umpak atau lumpang, di sekitar lahan pembuatan batu-bata seluas 2 hektare milik seorang perangkat desa, ternyata banyak ditemukan batu berbentuk serupa. Hanya tinggi, lebar dan ketebalannya berbeda. Ada yang menyerupai lumpang ada pula yang lebih kecil dan berbentuk lesung.
Kalau dihitung jumlahnya mencapai 10 buah. Posisinya ada yang masih ansitu (alami dan di tempat semula), ada pula yang berserakan. ''Tapi yang banyak lumpangnya berserakan. Sejak ada pembuatan batu-bata banyak warga yang menemukan benda itu," terangnya.
Sebagai warga, Bambang menuturkan pada tahun 1995 tepat kali pertama warga membuka lokasi pembuatan batu-bata, tidak sedikit batu berjenis sama ditemukan. ''Setidaknya kami pernah menemukan 40 buah batu lumpang. Tapi lokasinya berpencar-pencar," jelasnya.
Dibanding saat ini, penuturan Bambang memang terkesan ironis. Sebab, tidak ada satupun warga yang mengetahui persis berapa jumlah yang masih tersisa. Karena warga tidak tahu fungsi dan manfaat. ''Makanya yang bisa dilakukan warga hanya membiarkan. Bahkan kalau ada yang hilang kita tidak tahu," bebernya.
Hal serupa juga dituturkan Mukri, salah satu pembuat batu-bata. Tidak jarang pria bertubuh kekar itu menemukan batu umpak, saat menggali tanah sebagai bagan batu-bata. Dari ukuran besar sampai lesung setinggi 30 sentimeter kali 40 sentimeter. ''Di linggan (tempat pembakaran batu-bata, Red) saya ada dua batu besar. Itu sudah lama, karena hanya berbentuk batu kami sengaja membiarkanya di tengah sawah," ujarnya.
Menyusutnya jumlah batu umpak dan lesung memang tidak diketahui jelas, apakah sengaja dicuri atau berpindah tempat. Namun jika melihat lokasinya yang ada di setiap sudut lahan pembuatan batu-bata, tidak mudah jika benda cagar budaya itu dicuri.
Terlebih praktik pencurian itu dilakukan pada malam hari. ''Tinggal dipindahkan saja ke atas gledekan (gerobak, Red) atau mobil sudah beres. Kan gak ada yang tahu," urainya.
Untuk menekan aksi pencurian, pernah pada tahun 2008 kemarin warga dipelopori perangkat desa mengumpulkan dan memindahkan lokasinya, ke situs Kahuripan (watuombo) atau makam Tribuana Tunggadewi. ''Kurang lebih ada sekitar 16 batu yang berhasil kami kumpulkan. Dan sekarang kami amankan di watuombo," ungkap Sekretaris Desa Klinterejo Zainal Abidin. Didasari banyaknya temuan batu umpak dan lesung, Abidin menduga di lahan pembuatan batu-bata tersebut adalah bekas perumahan penduduk. Sebab selain batu, warga juga kerap kali menemukan sumur kuno.
''Tapi karena tidak ada yang tahu sejarah sebenarnya selama ini kami hanya menebak saja. Soal kepastian tempatnya apa kami tidak tahu," imbuhnya.
(Radar Mojokerto)
Situs Klinterejo (2)
Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko
Batu Berharga Itu Beralih Fungsi Jadi Penyeberangan
Pengetahuan warga tentang benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit memang cukup minim. Dari mengenal benda dan cara memperlakukan. Manfaat dan cara melestarikan hingga, cara melindungi dan mengamankan. Tidak heran jika di Dusun/Desa Klinterejo, berbagai bentuk dan model situs banyak yang terbengkalai dan tak terawat.
LIHAT saja dua batu dengan posisi berdampingan berada di sebuah aliran sungai kecil itu. Ukuranya memiliki lebar 73 sentimeter, tinggi 73 sentimeter dan ketebalan tidak lebih dari 33 sentimeter.
Meski memiliki nilai sejarah dan bernilai tinggi, namun benda keras tak bergerak itu seperti tak berharga. Bahkan letak batu di sungai kecil yang memisahkan antara Desa Panggih, Kecamatan Trowulan dengan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, sekarang beralih fungsi menjadi tempat pijakan menyeberangan warga sekitar.
''Dua batu itu biasanya digunakan warga menyeberang dari Desa Panggih ke Desa Klinterejo atau sebaliknya," ujar Bambang Hariawan warga setempat, saat ditemui siang kemarin di tempat pembuatan batu-bata.
Tidak hanya dua batu biasa disebut orang batu umpak atau lumpang, di sekitar lahan pembuatan batu-bata seluas 2 hektare milik seorang perangkat desa, ternyata banyak ditemukan batu berbentuk serupa. Hanya tinggi, lebar dan ketebalannya berbeda. Ada yang menyerupai lumpang ada pula yang lebih kecil dan berbentuk lesung.
Kalau dihitung jumlahnya mencapai 10 buah. Posisinya ada yang masih ansitu (alami dan di tempat semula), ada pula yang berserakan. ''Tapi yang banyak lumpangnya berserakan. Sejak ada pembuatan batu-bata banyak warga yang menemukan benda itu," terangnya.
Sebagai warga, Bambang menuturkan pada tahun 1995 tepat kali pertama warga membuka lokasi pembuatan batu-bata, tidak sedikit batu berjenis sama ditemukan. ''Setidaknya kami pernah menemukan 40 buah batu lumpang. Tapi lokasinya berpencar-pencar," jelasnya.
Dibanding saat ini, penuturan Bambang memang terkesan ironis. Sebab, tidak ada satupun warga yang mengetahui persis berapa jumlah yang masih tersisa. Karena warga tidak tahu fungsi dan manfaat. ''Makanya yang bisa dilakukan warga hanya membiarkan. Bahkan kalau ada yang hilang kita tidak tahu," bebernya.
Hal serupa juga dituturkan Mukri, salah satu pembuat batu-bata. Tidak jarang pria bertubuh kekar itu menemukan batu umpak, saat menggali tanah sebagai bagan batu-bata. Dari ukuran besar sampai lesung setinggi 30 sentimeter kali 40 sentimeter. ''Di linggan (tempat pembakaran batu-bata, Red) saya ada dua batu besar. Itu sudah lama, karena hanya berbentuk batu kami sengaja membiarkanya di tengah sawah," ujarnya.
Menyusutnya jumlah batu umpak dan lesung memang tidak diketahui jelas, apakah sengaja dicuri atau berpindah tempat. Namun jika melihat lokasinya yang ada di setiap sudut lahan pembuatan batu-bata, tidak mudah jika benda cagar budaya itu dicuri.
Terlebih praktik pencurian itu dilakukan pada malam hari. ''Tinggal dipindahkan saja ke atas gledekan (gerobak, Red) atau mobil sudah beres. Kan gak ada yang tahu," urainya.
Untuk menekan aksi pencurian, pernah pada tahun 2008 kemarin warga dipelopori perangkat desa mengumpulkan dan memindahkan lokasinya, ke situs Kahuripan (watuombo) atau makam Tribuana Tunggadewi. ''Kurang lebih ada sekitar 16 batu yang berhasil kami kumpulkan. Dan sekarang kami amankan di watuombo," ungkap Sekretaris Desa Klinterejo Zainal Abidin. Didasari banyaknya temuan batu umpak dan lesung, Abidin menduga di lahan pembuatan batu-bata tersebut adalah bekas perumahan penduduk. Sebab selain batu, warga juga kerap kali menemukan sumur kuno.
''Tapi karena tidak ada yang tahu sejarah sebenarnya selama ini kami hanya menebak saja. Soal kepastian tempatnya apa kami tidak tahu," imbuhnya.
(Radar Mojokerto)
2.02.2009
Situs Klinterejo (1)
Situs dirusak
Di Mojokerto, kerusakan situs ternyata bukan hanya di Trowulan, tetapi juga di Situs Klinterejo, Kecamatan Sooko, yang berbatasan langsung dengan lokasi Situs Trowulan.
Situs Klinterejo yang mengandung banyak peninggalan Majapahit, seperti sandaran arca, yoni, lumpang batu, jaladwara, balok batu, dan umpak, itu rusak akibat pembuatan batu bata oleh masyarakat. Batu bata kuno berukuran 60 x 20 sentimeter digeletakkan begitu saja di pinggiran selokan untuk mengairi sawah.
Anggota Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta, Yazid Kohar, menyayangkan perusakan tersebut. Pemerintah Kabupaten Mojokerto juga terkesan tidak mempunyai kepedulian dan membiarkan perusakan tersebut.(Kompas Cetak)
Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko
Ditengah sorotan publik terhadap pembangunan Pusat Informasi Majaphit (PIM) di Trowulan, di sisi lain ternyata banyak ditemukan situs di beberapa desa yang kondisinya kini tak terawat. Bahkan perlahan-lahan sudah banyak yang hilang karena terjual. Seperti sebuah bangunan kuno mirip pagar berada di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Mojokerto.(MOCH. CHARIRIS, Mojokerto)
Berserakan, Banyak yang Tergeletak di Lokasi Pembuatan Batu-bata
JIKA boleh ditebak, siapa yang banyak menemukan atau menemui benda purbakala di wilayah Kecamatan Trowulan dan sekitarnya? Jawabannya adalah para pembuat batu-bata di sawah. Di sadari atau tidak, setiap hari mereka dihadapkan dengan sebidang tanah liat yang siap di pasarkan dalam bentuk batu bata merah.
Sebuah cangkul, gancu dan ember seakan tidak bisa dipisahkan dari mereka. Karena dengan alat sederhana itu, mereka bisa bekerja dan menggali tanah selanjutnya di bentuk persegi yang dijadikan rupiah. Terkadang secara tidak sengaja saat menggali tanah mereka kerap menemui benda purbakala peninggalan Kerajaan Majapahit yang pernah jaya pada abad 14.
Diantaranya berbentuk gentong, gerabah, batu lumpang, candi, hingga situs yang berbentuk pagar dan puthuk (gapura kecil). Seperti yang kerap ditemui warga sekaligus pembuat batu-bata di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Tepatnya sebelah barat situs Kahuripan yang terdapat batu berukuran lebar.
''Sebenarnya dari dulu sudah banyak ditemukan situs-situs di area tempat pembuatan batu-bata ini," ujar salah satu warga yang kesehariannya bekerja membuat batu-batu.
Pria bertubuh rada kekar dan berambut pendek itu mengaku, peninggalan cagar budaya di lokasi tempatnya bekerja jika dihitung lebih dari lima jenis. Ada yang berbentuk batu lumpang, puthuk makam, sumur dan sebuah bangunan menyerupai pagar peninggalan Kerajaan Majapahit. ''Setahu saya bangunan kuno seperti puthuk itu sudah ada dari beberapa tahun lalu. Tapi untuk pagar dan sumurnya baru diketahui lima tahun terakhir ini. Tepatnya saat ada pembuatan batu-bata," ujarnya sembari mencetak tanah dalam bentuk bata.
Bila diamati lebih dalam, tidak hanya situs, namun berbagai artefak juga ada di sebidang tanah milik perangkat desa yang disewakan kepada para pembuat batu-bata. Salah satunya berbentuk batu lumpang, setinggi 50 sentimeter dengan lebar 1 meter.
''Setelah itu semua ditemukan sebenarnya lokasi ini sudah dikunjungi sama orang BPPP," terangnya. Meski begitu purbakala berharga yang semestinya mendapat perlindungan, kini kondisinya cukup memprihatinkan. Sedikitnya ada enam batu lumpang seakan tak bernilai. Berserakan, tak terjaga dan tergeletak liar di sekitar linggan (bangunan tempat membakar batu-bata, Red).
Sebagian lainnya malah menyedihkan karena terkapar di tepi sungai kecil. Bahkan oleh warga ada yang difungsikan untuk menyeberang wangan (sungai kecil).
Akan tetapi yang lebih mengenaskan saat ini, situs berbentuk pagar berada di sebelah barat tempat pembuatan batu bata dalam kondisi rusak berat. Tidak hanya tergerus akibat pembuatan batu bata, melainkan sebagian sudah hilang.
Ada yang menyebut hilangnya bagian bangunan berharga itu ada yang menjual. Dalam bentuk bijian batu batu memiliku ukuran 20 sentimeter kali 60 sentimeter, dengan ketebalan 5 sentimeter. Untuk satu buah batu bata dihargai Rp 500 rupiah.
Kendati demikian sejauh ini tidak dieketahui jelas, siapa yang menjual dan siapa yang membeli bagian bangunan yang memiliki panjang sekitar 500 meter. Namun jika ada pemesan yang masuk ke kawasan tersebut beberapa orang siap melayani sesuai pesanan. Asalkan harganya cocok.
''Memang selama ini warga sudah banyak yang tahu, kalau di kawasan pembuatan batu bata itu banyak situs. Tapi kami belum tahu jika kerusakannya semakin parah," kata Sekretaris Desa Bidin, saat ditemui di rumahnya tidak jauh dari lokasi.
Mendengar ada kerusakan atau bahkan praktik jual beli benda sejarah, pria yang hobi sepak bola itu mengaku miris. Sebab selaku perangkat dan atas nama warga, dia menyayangkan kalau ada orang dengan sengaja memesan batu-bata kuno berakibat kerusakan. ''Kalau warga yang merusak kami rasa mereka tidak bisa disalahkan karena urusannya perut. Tapi kemungkinan ada orang di belakang itu," dugaan Bidin.
Agar tidak berkelanjutan, Bidin dan perangkat desa lain akhirnya memutuskan untuk mengamankan cagar budaya yang tersisa. Baik dalam bentuk lumpang artefak berkeliaran, atau pagar besar yang susunan batu-batanya banyak yang hilang. ''Belakangan warga belum sadar kalau benda-benda itu memiliki nilai sejarah tinggi. Tapi yang pasti bersama warga kita akan amankan situs-situs itu," paparnya.(Radar Mojokerto)
Taken From Banyumili Network
1.30.2009
Ayo Hancurkan Majapahit !
Merujuk kronik Indonesia 2009, media massa pada pekan pertama tahun ini menyuguhkan dua isu ''besar'': Perang Gaza dan hancurnya situs Trowulan. Penyerbuan Israel di Jalur Gaza, Palestina, yang barbarian mencabik nalar waras sebagai masyarakat beradab dalam masyarakat ultrateknologi. Sementara ''penghancuran'' situs Trowulan oleh pemerintah atas nama pembangunan Trowulan Information Centre adalah jalan pemusnahan sejarah diri sendiri. Terutama sejarah peradaban Majapahit yang terpaku di bawah tanah Trowulan.
Arkeolog berteriak. Koran-koran menulis seram-seram. Berhalaman-halaman lagi. Banyak yang menyatakan keprihatinannya. Pemerintah lalu minta maaf dan meninjau kembali pembangunan pusat informasi ''pelestarian'' kejayaan masa silam itu.
Apa-apaan ini semua. Mengapa baru brangasan sekarang. Begitu sibuk sepertinya kiamat sejarah sudah di muka pintu. Dan mengapa pula pemerintah mesti repot sembah sujud untuk memohon maaf atas kesalahan yang sudah sangat dan sangat biasa dilakukannya.
Penghancuran ingatan atas warisan (cerita) Majapahit itu toh sudah berlangsung dengan sangat lama, sistematis, dan halus. Dan itu dilakukan pemerintah yang dibantu sikap bisu masyarakat (terpelajar) Mojokerto sendiri.
Kalau tak percaya, datangi saja dua perpustakaannya: perpustakaan kabupaten dan kota. Dua perpustakaan itu menjadi cermin terbaik bagaimana sejarah Majapahit yang menaungi kota ini menjadi cerita yang telah kehilangan pukaunya. Dua perpustakaan itu nyaris sama buruknya dengan perpustakaan Kediri dari hasil kelana saya di perpustakaan kota-kota yang pernah punya nama besar di masa silam.
Kata para pemangku buku, perpustakaan dibuat untuk mencerdaskan masyarakat. Tapi bukan sekadar itu. Perpustakaan juga dibuat sebagai benteng pertahanan ingatan (sejarah) kolektif masyarakat dari gerusan waktu. Perpustakaan adalah jangkar kesadaran dari mana masyarakat itu berasal dan bagaimana menyiasati masa depan dengan jangkar informasi kejayaan dan dosa masa lalu. Maka itulah perpustakaan mesti selalu berada di tengah kota, di jantung kesibukan masyarakat.
Tapi di perpustakaan Mojokerto (kabupaten dan kota), kisah kejayaan Majapahit hanyalah puing-puing yang tiada berguna.
Ayo, mari masuk ke perpustakaan kabupaten yang ada di Jalan RA Basuni. Jangan lupa buka sepatu/sandal. Tak tahu bagaimana asal muasal aturan yang mirip masuk musala ini. Ruangan itu tak terlalu besar dan mirip puskesmas kecamatan. Buku-buku tak tersusun rapi. Pengategorian buku awut-awutan. Di rak yang mestinya dikuasai kesusastraan juga disusupi buku-buku pendidikan wiraswasta.
Hanya satu buku tentang sejarah Kota Mojokerto di sini dengan tampang yang memelas: Sejarah Mojokerto, Sebuah Pendekatan Administratif dan Sosial Budaya. Buku yang disusun Tim Penulisan Sejarah Kabupaten Mojokerto pada 1993 itu tampak kusam. Selain karena ''ketuaan'', juga barangkali tak ada yang menjamahnya. Bayangkan, untuk menjaga warisan sejarah besar Majapahit dengan armada maritim yang demikian tangguh di masa silam itu, perpustakaan kabupaten ini cukup mempercayakannya pada satu buku itu!
Tapi, masih lumayan. Dari satu buku sekunder itu saya mencoret-coret beberapa keterangan tentang sejarah Majapahit walau tanpa meninggalkan decak kagum sama sekali. Beberapa paragraf informasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
Sudahlah. Lupakan. Tak usah rewel menanyakan di mana Kitab Negarakertagama yang masyhur itu. Mari masuk kota, lewat Jalan Majapahit, lurus ke Raden Wijaya, dan berhenti di Gajah Mada. Tiga nama jalan itu membuat saya sedikit masygul: O, saya benar-benar berada dalam episentrum sejarah.
Apalagi, perpustakaan kota berada di salah satu bahu (Jalan) Gajah Mada. Sosok yang sumpah kuasanya menggetarkan tanah-tanah Nusantara. Ya, Gajah Mada memang jaya, tapi perpustakaannya tidak. Bahkan curiculum vitae (cv) Gajah Mada tak tercatat dalam perpustakaan kota ini. Satu-satunya buku yang saya temui adalah: Perundangan Madjapahit karya Prof Dr Slamet Muljana (Jakarta: Bharata, 1967, 167 hlm.). Di halaman buku itu masih ada stempel Proyek Pengembangan Perpustakaan Jawa Timur T.A. 1984/1985.
Saya berpikir, barangkali saja masih ada judul lain, tapi sedang dipinjam orang. Maka, saya buka katalog buku 1997 yang tertudung dalam map kuning yang sudah lecet dan sobek-sobek. Tak ada lagi. Memang cuma itu. Aneh juga, bagaimana bisa perpustakaan kabupaten dan kota bersepakat untuk seri: 1-1. Satu buku di perpustakaan kabupaten, satu buku di perpustakaan kota.
Ketimbang pulang ke Jogja dengan penuh kesal, maka kuputuskan bertahan tiga jam dalam perpustakaan yang riuh dan sempit itu. Hanya ngelangut. Membuka buku apa saja dan sesekali menimang koran. Memperhatikan dua kipas angin yang sedang tancap gas dengan didorong mesin pendingin. Mendongak ke atas. Hanya satu neon yang menyala untuk menerangi empat meja besar.
Saya memang memegang brosur tentang sejarah berdiri dan kegiatan pengurus perpustakaan yang bersisian dengan taman kanak-kanak ini. Tapi bukan mencatat apa yang ada di brosur itu yang membuat saya mesti jauh-jauh ke kota ini dengan menumpang sepeda motor. Saya ingin melihat dan merasakan langsung bagaimana kota ini memelihara sejarah dirinya sendiri dalam sebuah gedung eksotik bernama perpustakaan.
Karena kecewa itu, saya pun urung menuliskan apa pun tentang (perpustakaan) kota ini. Hingga dua tahun kemudian ketika semua orang ramai-ramai berteriak untuk menyelamatkan (situs) Majapahit dari pembangunan bergaya barbar yang ironisnya justru atas nama pembangunan pusat informasi Majapahit, catatan suram kunjungan itu pun saya tarik dari laci dan menyalinnya kembali.
Tiba-tiba suara parau novelis Ceko Milan Kundera mendengung: ''Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.''
O, Tuan Kundera, bagaimana kalau pernyataan tuan itu saya modifikasi sedikit. Jadinya begini: Untuk menyempurnakan kepahitan nasib (sejarah) Majapahit (dan Mojokerto), selain buku-buku yang merekam sejarah kota itu disingkirkan dari perpustakaan kota, seluruh situs masa silam yang menandai sejarah kota itu juga sudah harus dirusakbinasakan atau jual secuil demi secuil di pasar gelap benda purbakala.
Dengan begitu, insya Allah, tiga generasi lagi penghuni kota ini akan diserang epidemi amnesia atas kejayaan masa lalu mereka sendiri. Berdoa saja. (*)
Dikutip dari tulisan : Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku. dari kurakurabiru.multiply.com
8.19.2008
Belajar dari Majapahit
Masih lekat dalam ingatan kita bersama betapa kita pernah menjadi bangsa yang besar dengan wilayah yang hampir menguasai seluruh asia tenggara, di bawah bendera Majapahit dulu kita pernah jaya. Bangsa yang sangat disegani dan diperhitungkan dalam pergaulan internasional. Kemasyuhran Nagari Mojopahit tidak terbantahkan lagi, prasasti, candi dan kitab dan hasil pemikiran yang turut melandasi dasar negara kita sekarang Indonesia. Apakah bangsa Indonesia sekarang sudah bisa sebesar Majapahit dulu ? Apakah negeri ini telah diperhitungkan dalam dunia internasional ?, Sebagai bangsa yang besar marilah kita belajar dari sejarah, bahwa sebenarnya kita mampu menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh. Telah banyak kisah yang menceritkannya, hal ini tidak dapat kita pungkiri bahwa sebenarnya negeri ini berbakat untuk menjadi negara yang besar, tinggal seberapa besar kemampuan para pengelola negeri ini untuk mengurusnya.