2.04.2009

Situs Klinterejo (2)

Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko

Batu Berharga Itu Beralih Fungsi Jadi Penyeberangan

Pengetahuan warga tentang benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit memang cukup minim. Dari mengenal benda dan cara memperlakukan. Manfaat dan cara melestarikan hingga, cara melindungi dan mengamankan. Tidak heran jika di Dusun/Desa Klinterejo, berbagai bentuk dan model situs banyak yang terbengkalai dan tak terawat.

LIHAT saja dua batu dengan posisi berdampingan berada di sebuah aliran sungai kecil itu. Ukuranya memiliki lebar 73 sentimeter, tinggi 73 sentimeter dan ketebalan tidak lebih dari 33 sentimeter.

Meski memiliki nilai sejarah dan bernilai tinggi, namun benda keras tak bergerak itu seperti tak berharga. Bahkan letak batu di sungai kecil yang memisahkan antara Desa Panggih, Kecamatan Trowulan dengan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, sekarang beralih fungsi menjadi tempat pijakan menyeberangan warga sekitar.

''Dua batu itu biasanya digunakan warga menyeberang dari Desa Panggih ke Desa Klinterejo atau sebaliknya," ujar Bambang Hariawan warga setempat, saat ditemui siang kemarin di tempat pembuatan batu-bata.

Tidak hanya dua batu biasa disebut orang batu umpak atau lumpang, di sekitar lahan pembuatan batu-bata seluas 2 hektare milik seorang perangkat desa, ternyata banyak ditemukan batu berbentuk serupa. Hanya tinggi, lebar dan ketebalannya berbeda. Ada yang menyerupai lumpang ada pula yang lebih kecil dan berbentuk lesung.

Kalau dihitung jumlahnya mencapai 10 buah. Posisinya ada yang masih ansitu (alami dan di tempat semula), ada pula yang berserakan. ''Tapi yang banyak lumpangnya berserakan. Sejak ada pembuatan batu-bata banyak warga yang menemukan benda itu," terangnya.

Sebagai warga, Bambang menuturkan pada tahun 1995 tepat kali pertama warga membuka lokasi pembuatan batu-bata, tidak sedikit batu berjenis sama ditemukan. ''Setidaknya kami pernah menemukan 40 buah batu lumpang. Tapi lokasinya berpencar-pencar," jelasnya.

Dibanding saat ini, penuturan Bambang memang terkesan ironis. Sebab, tidak ada satupun warga yang mengetahui persis berapa jumlah yang masih tersisa. Karena warga tidak tahu fungsi dan manfaat. ''Makanya yang bisa dilakukan warga hanya membiarkan. Bahkan kalau ada yang hilang kita tidak tahu," bebernya.

Hal serupa juga dituturkan Mukri, salah satu pembuat batu-bata. Tidak jarang pria bertubuh kekar itu menemukan batu umpak, saat menggali tanah sebagai bagan batu-bata. Dari ukuran besar sampai lesung setinggi 30 sentimeter kali 40 sentimeter. ''Di linggan (tempat pembakaran batu-bata, Red) saya ada dua batu besar. Itu sudah lama, karena hanya berbentuk batu kami sengaja membiarkanya di tengah sawah," ujarnya.

Menyusutnya jumlah batu umpak dan lesung memang tidak diketahui jelas, apakah sengaja dicuri atau berpindah tempat. Namun jika melihat lokasinya yang ada di setiap sudut lahan pembuatan batu-bata, tidak mudah jika benda cagar budaya itu dicuri.

Terlebih praktik pencurian itu dilakukan pada malam hari. ''Tinggal dipindahkan saja ke atas gledekan (gerobak, Red) atau mobil sudah beres. Kan gak ada yang tahu," urainya.

Untuk menekan aksi pencurian, pernah pada tahun 2008 kemarin warga dipelopori perangkat desa mengumpulkan dan memindahkan lokasinya, ke situs Kahuripan (watuombo) atau makam Tribuana Tunggadewi. ''Kurang lebih ada sekitar 16 batu yang berhasil kami kumpulkan. Dan sekarang kami amankan di watuombo," ungkap Sekretaris Desa Klinterejo Zainal Abidin. Didasari banyaknya temuan batu umpak dan lesung, Abidin menduga di lahan pembuatan batu-bata tersebut adalah bekas perumahan penduduk. Sebab selain batu, warga juga kerap kali menemukan sumur kuno.

''Tapi karena tidak ada yang tahu sejarah sebenarnya selama ini kami hanya menebak saja. Soal kepastian tempatnya apa kami tidak tahu," imbuhnya.

(Radar Mojokerto)